Sifat Salbiyah adalah Meniadakan
sifat-sifat yang tidak layak bagi Allah SWT. Adapun sifat-sifat Allah yang
termasuk kedalam sifat salbiyah ini ada 5, yaitu: Qidam, Baqa, Mukhalafatu lil
hawaditsi, Qiyaamuhu binafsihi, Wahdaniyat.
a Qidam
artinya terdahulu. Maksudnya tidak berpermulaan.Sebelum adanya sesuatu, jagat
belum digelar, bumi langit belum ada, arah barat-timur, utara-selatan,
atas-bawah juga belum ada. Yang ada hanyalah Allah semata yang bersifat Jalal (
yang perkasa ).
Disini Allah belum dikenali, karena
Dia Yang Maha Perkasa belum menampakkan keberadaanNya. Yang mengetahui adanya
Dia hanya Dia sendiri. Maka keadaan semacam ini disebut: Laa Ta'yun, artinya
belum menampakkan Diri ( belum bertajalli ). Kondisi semacam ini sama dengan
manusia jauh sebelum kelahirannya. Misalnya : kita sekarang ini berumur tiga
puluh tahun, tiga puluh satu tahun yang lalu kita dimana? Siapa yang mengetahui
keberadaan kita, dan apa yang kita rasakan saat itu? Kita tidak mengetahuinya,
karena kita belum bertajalli atau belum menampakkan diri. Martabat atau
kedudukan semacam ini dikenal dengan istilah Martabat Ahadiyat. Allah Ijen Tur
Ngijeni. Tunggal sendiri tidak ada yang menemani. Inilah makna firman Allah
SWT: “ Qul Huwallaahu Ahad.” Artinya: “ Katakanlah hai Muhammad Allah itu
Satu.”
Kalau yang Ada, terdahulu hanyalah
Allah, lalu asal muasal bumi-langit dengan isinya, termasuk manusia? Dengan apa
mereka itu diciptakan? Apa bahannya?
Nabi Muhammad SAW menjelaskan
melalui sabdanya: “ Awwaalu maakhalaqa nuuru nabiyyika ya jabir wa khalaqa
minhul asyyaa’a wa anta min tilka asyaa’a.” artinya, “ Yang mula-mula
diciptakan adalah Nur Nabimu Wahai Jabir ( Nur Muhammad ) dan dari Nur tersebut
diciptakan segala sesuatu dan kamu adalah bagian dari segala sesuatu tersebut.”
Dari penjelasan hadist tersebut
dapat kita ketahui bahwa bibit atau dasar penciptaan manusia dan
makhluq-makhluq yang lain adalah Nur Muhammad. Dan Nur Muhammad berasa dari Nur
Allah. Jadi, semua yang ada dijagat raya ini berasal dari Allah atau berasal
dari Dzat Qadim yang azali dan abadi.
Kalau semua berasal dari Allah,
lalu hendak kemana kembalinya semua yang ada ini? Dalam hal ini Allah SWT
menjawab melalui firmanNya, “ Innaa lillaahi wa innaa illaihi raji’uun.”
Artinya, “ Sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan sesungguhnya kita
semua akan kembali kepadaNya.”
Oleh karena itu, dalam menghadapi
segala sesuatu kita harus bias mengembalikan kepada Yang Qadim ini. Dalam
artian, kita tidak bias apa-apa, tidak memiliki apa-apa. Semua persoalan
datangnya dari Alllah dan kesana pula kita kembalikan segala persoalan
tersebut. Dengan demikian hati kita tetap Manunggal dengan yang Qadim. Kalau
hati sudah manunggal dengan yang qadim, maka otomatis hati kita akan lapang,
akan jembar, akan luas sebagaimana luasnya Samudera Hayat yang tidak bertepi.
Firman Allah SWT. “ Wa man yatawwakal ‘alallaahi fahuwa hasbuhu.” Artinya , “
Barangsiapa yang bertawwakal kepada Allah, maka Allah akan memberikan kecukupan
kepadanya.”
Tetapi sebaliknya, jika didalam
menghadapi segala sesuatu kita merasa bisa menyelesaikan sendiri, tidak
dikembalikan kepada yang qadim, kita lupa akan Innaalillahi wa inna illaihi
raji’uun, maka sungguh kita akan mendapat kesulitan besar. Kita akan stress,
bingung, mumet dan sebagainya. Kalau sudah demikian kita tidak mempunyai
keluasan didalam menjalani kehidupan ini. Kesulitan demi kesulitan akan terus
kita hadapi. Inilah makna firman Allah: “ Waman a’radla’an dzikrii fa inna lahu
ma’iisyatan dlankaa.” Artinya, “Barangsiapa yang berpaling dari mengingatKu
maka adalah baginya penghidupan yang sempit.”
Oleh karena itu kita harus bias menghapus
sifat-sifat keminter atau merasa mampu untuk bisa menyelesaikan sendiri segala
persoalan yang kita hadapi.
Dalam hal ini orang jawa memberikan
paweling atau nasehat: “ Ojo rumongso biso ananging bisoho ngrumangsani.”
Maksudnya adalah kita jangan menjadi orang yang sok, sok pintar, sok jagoan,
sok hebat dan sok-sok yang lainnya. Tapi kita harus menyadari bahwa kita ini
asalnya tidak ada. Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak ada bisa mengadakan
sesuatu? Yang ada hanyalah Dzat yang qadim itu sendiri. Berarti hanya Dia
sajalah yang dapat menciptakan dan meniadakan sesuatu. Inilah makna: “ Laa
haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adhiim.” Tidak ada daya dan
kekuatan kecuali daya dan kekuatan Allah SWT.
b Baqa
artinya, kekal . maksudnya adalah Dzat Allah SWT hidup terus selamanya tidak
pernah mati dan tidak mengalami kerusakan atapun perubahan.
Dari dulu sejak azali sampai
kapanpun tetap seperti itu keadaannya, tidak berubah sama sekali. Hal ini
sebagaimana firmanNya: “ Kullu syai’in haalikun illaa wajhahu.” Artinya, “
Segala sesuatu adalah rusak kecuali wajahNya.”
Orang jawa mengatakan: “ Tan Kena Owah Gingsir Ing Kahanan Jati.”
Kahanan jati atau keadaan yang sebenarnya, itulah yang tidak mengalami
kerusakan dan perubahan. Dari dulu sampai sekarang dan sampai kapanpun ya
begitu itu keadaannya.
Dalam diri manusia juga ada sesuatu
yang bersifat Langgeng atau tidak bisa mengalami perubahan dan tidak kena pati,
inilah yang disebut dengan istilah Manusia Sejati. Dalam serat wirid hidayat
jati disebutkan demikian: Ya Ingsun
kanga ran manungsa sejati, urip tan kena ing pati tetep langgeng tan kena owah
gingsir ing kahanan jati. Jangan bingung, Aja was sumelang. Manusia adalah
rahasiaKU dan AKU adalah rahasia Manusia. Demikian bunyi firman Allah yang
disampaikan melalui lisan Nabi Muhammad SAW. Ingat antara Dzat dan Sifat tidak
bisa dipisahkan satu sama lain. Jasad manusia adalah sifat yang bersifat fana’,
sedangkan batin manusia adalah dzat yang bersifat Baqa’. Dengan demikian lahir
batin Allah ada pada diri kita pribadi.
Untuk dapat menyatu terus dengan
Sang Baqa’, maka kita harus melakukan Riyadlah atau latihan-latihan spiritual
melalui bimbingan seorang Master atau Guru MURSYID. Guru atau Mursyid yang
dimaksud adalah orang yang betul-betul faham dengan ilmu ini. Artinya orang
yang sudah tahu tentang Sangkan Paran dan mendapat Hibah atau Ijazah untuk
mengajarkan ilmu tersebut.
Mukhalafatu
lil hawaditsi, artinya berbeda dengan yang baru.Wujud Dzat Allah yang bersifat
qadim adalah berupa Nur atau Cahaya. Hal ini dijelaskan oleh Allah didalam
Al-Qur’an Surah Annur ayat 35. Adapun sifat cahaya-Nya adalah Nuurun ‘ala
nuurin, chaya diatas cahaya. Artinya Dia adalah sumber dari segala sumber
cahaya. Adapun jagat raya dengan segala isinya ini adalah merupakan pancaran
dari Cahaya-Nya. Bagaiman mungkin sesuatu yang hanya sekedar bias atau pancaran
ini bisa menyamai sumber aslinya. Jadi Nur yang merupakan Manba ‘ul awwal atau
sumber yang pertama tidak bisa diserupai oleh sesuatu yang merupakan biasnya.
Firman Allah, “Wa lam yakun lahuu kufuwan ahad.” Artinya, Tidak ada sesuatupun
yang setara dengan-Nya. Kita ambil perumpamaan matahari dan bulan. Pada malam
hari kita melihat bulan bersinar menyinari bumi. Sinarnya masuk kedalam lubang
ventilasi rumah kita, kemudian mengenai cermin almari dan selanjutnya oleh
cermin tersebut sinar bulan dipantulkan ke lantai. Lantai akan menjadi terang
karenanya. Lantai menjadi terang karena pantulan cahaya cermin, cermin bersinar
karena cahaya bulan, sedangkan bulan memantulkan cahaya dari matahari. Dalam
hal ini matahari kita sebut sebagai sumber cahaya yang pertama, sedangkan bulan
yang kedua, cahaya cermin hanya merupakan bias saja dari cahaya matahari.
Samakah cahaya bulan, cahaya cermin dengan cahaya matahari yang medrupakan
sumber cahaya? Tidak. Bahkan bulan dan cermin pada hakikatnya tidak memiliki
cahaya. Cahaya bulan dan cermin adalah milik matahari. Maka salahkah jikalau
ada orang yang berkata: “ Sebenarnya yang menyinari lantai bukan cermin ataupun
bulan, melainkan matahari.”
Cahaya matahari dalam perumpamaan
diatas disebut cahaya hakiki sedangkan cahaya selainnya disebut cahaya majazi.
Dalam perumpamaan diatas bisa kita kembangkan lebih jauh lagi. Sinar matahari
bisa dimanfaatkan berbagai keperluan. Seperti dijadikan penggerak mobil tenaga
surya, kalkulator dan lain-lain. Hakikat sinarnya tetap satu tidak
berubah-ubah. Tetapi bentuk pancarannya bermacam-macam. Intinya tetap satu yang
tidak bisa diserupakan, yaitu Tenaga Inti Matahari. Jadi yang berbeda satu sama
lain adalah bentuk pancarannya.
Dari contoh-contoh diatas , maka
kita dapat tarik benang kesimpulan, bahwa Dzat Allah yang merupakan wujud
hakiki tidak bisa diserupai oleh selain-Nya yang hanya merupakan wujud majazi.
Dan bahkan, sesuatu yang bersifat majaz ini adalah berasal dari Nya. Maka
salahkah bila orang yang berkata: “ Sebenarnya tidak ada yang wujud kecuali
wujudNya.” Dzat yang bersifat Hayyu tetap satu adanya. Adapun pancaran dari
Al-Hayyu itu sendiri bermacam-macam. Ada yang menjadi manusia, hewan, tumbuhan
dan lain-lain. Dari sini Mukhalafatu lil hawaditsi bisa kita artikan, berbeda
bagi yang baru. Artinya berbeda-beda bentuk dan wujudnya ini hanyalah sesuatu
yang baru, sedangkan esensi atau saripati dari sesuatu yang baru ini tetap satu
adanya dan tidak mengalami perubahan. Inilah makna wujudul wahdah fil katsrah (
adanya yang satu pada yang banyak ) atau Wujudul katsrah fil wahdah ( adanya
yang banyak pada yang satu ).
d Qiyamuhu
binafsihi. Artinya, berdiri dengan Dzat-Nya Sendiri. Maksudnya adalah Dzat
Allah tidak butuh kepada yang lain, untuk meniadakan atau mewujudkan-Nya.
Bagaimana mungkin Dzat yang akbar
ini membutuhkan selain-Nya, yang nyata-nyata memang tidak ada? Bahkan kalau
boleh diibaratkan; bumi, langit dan semua yang tersebar dijagat raya ini adalah
ibarat kuman didalam perut gajah yang bengkak. Ibarat ini mengisyaratkan,
betapa Dzat Allah ini melingkupi seluruh alam semesta ini. Dengan keperkasaan
Dzat-Nya inilah, Dia berhak mengatur dan berbuat apa saja terhadap semua
makhluq-Nya tanpa membutuhkan pertolongan siapapun juga, dan tidak ada satupun
yang bisa menghalang-halangi apa yang dikehendaki-Nya. Inilah makna
firmna-Nya: “Innallaah ghaniyyun’anil
‘aalamiin.” Artinya, Sesungguhnya Allah Maha Kaya tidak membutuhkan dari alam
semesta.
Allah tidak membutuhkan pertolongan
sesuatupun didalam AF’AL-Nya. Termasuk ngelar-ngracut ( mencipta-menghapus )
jagat raya dengan segala isinya ini. Semua yang tersebar dijagat raya ini
bergerak atas kehendak-Nya. Tidak ada satupun gerak dan perbuatan makhluq, melainkan
atas kehendak-Nya. Jadi, semua gerak dan perbuatan makhluq adalah Af’al atau
perbuatan Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman-Nya: “ Wa maa ramaita
idzramaita walaakinnallaaha ramaa.” Artinya : “ Bukan kamu yang melempar ( Hai
Muhammmad ) ketika kamu melempar, melainkan Allah-lah yang melempar.”
Berkata seorang penyair arab: “
Walau khatharat lii fiisiiwaaka iraadatun, ‘alaa khatirii sahwan qadlaitu
biriddatii.” Artinya : “ jika terlintas kilas dalam khatarku (ungkapan yang
sangat halus dari dalam hati) ada kehendak lain selain daripada kehendak-Mu,
aduhai remuk redam diriku di lumpur kemurtadan.”
Lebih tegas lagi, Allah SWT
menjelaskan melalui firman-Nya, “ Wallaahu khalaqakum wamaa ta’maluuna.”
Artinya: “ Allah yang menciptakanmu dan
yang menciptakan perbuatanmu.”
Jadi Qiyamuhu binafsihi, mempunyai
pengertian, Allah Ada dengan Dzat-Nya sendiri, dan dengan Dzatnya inilah
manusia dan semua makhluq berkarya dan beraktifitas sesuai dengan fungsi dan
tugasnya masing-masing. Dengan Dzat-Nya inilah orang-orang mukmin dapat
melakukan shalat, puasa, haji dan macam-macam amal ibadah. Dan dengan Dzat-Nya
inilah orang-orang Arifbillah dapat mengenal dan melihat Tuhannya. Seseorang bertanya kepada Syech Dzunnun
Al-Mishri, “ Bima ‘arafta rabbaka?” dengan apa tuan dapat melihat Tuhan?.
Dijawab oleh beliau,” Araftu rabbi bi rabbi,”
aku melihat Tuhanku dengan Tuhanku. Demikianlah semuanya dapat terjadi
karena bersama dengan Dzat Allah. Maka iqrar yang kita ucapkan ketika sedang
shalat adalah, “ Inna shalaati wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi
rabbil ‘aalamiin, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku adalah milik
Allah, Tuhan sekalian Alam.
e Wahdaniyyat,
Allah Maha Esa. Allah Tunggal, tunggal dalam Dzat, Sifat, Asma’ maupun Af’al.
Tidak ada Dzat kecuali Dzat-Nya
Allah. Tidak ada Sifat kecuali Sifat-Nya Allah. Tidak ada Asma’ kecuali
Asma’-Nya Allah. Tidak ada Af’al kecuali Af’al-Nya Allah. Inilah makna " Qul
huwallaahu ahadun.” Katakanlah hai Muhammad, Allah itu Satu. Juga ayat yang
menerangkan, “ Wa ilaahukum ilaahu waahid, laa ilaaha illa
huwarrahmaanurrahiim.” Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada
kecuali Dia yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Setelah kita menyadari bahwa
Tuhan kita adalah Tuhan yang Satu, yang tidak ada sekutu bagi-Nya sekarang yang
menjadi pertanyaan: “ Dimana Dia?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut
gampang-gampang susah, gampang karena jawabannya sudah ada dalam Al-Quran.
Dalam surah Qaf, ayat 16 disebutkan, “ Wa nahnu aqrabu ilahi min hablilwarid.”
Aku lebih dekat daripada urat leher. Juga firman-Nya yang lain, “ Fainamaa
tuwalluu fatsamma wajhullaahi.” Kemanapun kamu menghadap disitu wajah Allah.
Dalam redaksi ayat yang lain juga dijelaskan bahwa Allah SWT bersemayam diatas
Arsy ( Tsummastawaa ‘alal ‘arsy )
Jawaban atas pertanyaan diatas
akan menjadi susah kalau timbul
pertanyaan baru, misalnya: “ Kalau Allah lebih dekat dari urat nadi berarti
Allah berada dalam diri manusia, kalau Allah berada dalam diri manusia, berada Dia terbatasi oleh dimensi ruang dan waktu.
Padahal Allah bersifat Akbar dan berarti pula pada diri setiap manusia ada
Allahnya, berarti Tuhan tidak hanya satu, melainkan banyak, sebanyak makhluq
yang tersebar dijagat raya ini?” Kalau kemana saja kita menghadap disitu adalah
Wajah Allah, berarti kita menghadap batu, menghadap matahari, menghadap hewan,
tumbuhan juga menghadap Allah? Dan kalau Allah bersemayam diatas Arsy berarti
keberadaan Arsy masih lebih luas dibandingkan dengan Allah? Padahal Allah
adalah Dzat yang Wasyii’un ‘aliim. Dzat Yang Maha Luas dan Maha Mengetahui? Dan
ayat diatas satu sama lain saling bertentangan, yang satu ayat menjelaskan
berada dalam diri manusia, satunya lagi menjelaskan dimana saja, satunya lagi
menjelaskan diatas Arsy, bukankah ini sesuatu yang mustahil, jika terjadi perbedaan
antara ayat yang satu dengan ayat yang lain? Mana yang benar?
Pertanyaan tersebut memang sulit
dijawab bagi orang yang belum memahami Jatining Agesang atau Agesang Sejati
atau belum memahami hakikat dirinya. Apalagi bagi orang yang tertutup mata hatinya,
yang oleh Allah sendiri telah dijelaskan melalui firman-Nya: “ Waman kaana fii
haadzihil a’ma ‘fahua fil akhiirati a’ma wa-adlallu sabiilaa.” Artinya, “
Barangsiapa yang buta mata hatinya didunia maka akan buta pula di akhirat
bahkan lebih sesat jalannya.” Bagi orang yang telah Futuh (dibuka) mata hatinya
oleh Allah, sehingga dia dapat musyahadah (menyaksikan) keindahan Allah bi
‘ainil bashiirah ( dengan penglihatan mata batin) juga akan kesulitan
memberikan jawaban kepada orang yang belum sampai kesana dan apalagi yang sama
sekali tidak ada keinginan atau ghirah untuk bermakrifat kepada Allah. Sama
sulitnya menceritakan rasa manisnya madu kepada orang yang sama sekali tidak
pernah merasakan bahkan melihat madu.
Sayyidina Ali, juga Abu Hurairah
berkata: “ Aku diberi dua karung mutiara
Ilmu oleh Rasulullah SAW, yang satu karung aku sebarkan dan yang satunya lagi
aku simpan, sebab jika yang sekarung ini aku sebarkan aku akan dianggap
penyembah berhala, dan laki-laki muslim akan menghalalkan darahku.”
Dalam hal ini Rasulullah SAW,
memberikan jawaban secara bijaksana ketika seseorang bertanya tentang IHSAN, “
Al ihsaanu hua anta’budallaaha ka-annaka taraahu fa-inlam takun taraahu
fainnahu yaraaka.” Artinya, Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan
engkau melihat-Nya, jika kamu tidak mampu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia
melihatmu.” Amin. Wallahu 'alam.
Alhamdulillah...Gus .
BalasHapusNiki blog nya Gus kholik.nopo Gus nur wahid.nopo Gus moheng...??