Kamis, 07 Juni 2012

Penjabaran Sifat Ma’ani


    Sifat Ma’ani, maksudnya adalah sifat-sifat Allah yang penggambaran makna  lahir sifat-sifat tersebut pada manusia. Sifat ma’ani tersebut ada Tujuh macam; Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar dan Kalam.
        Qudrat, artinya, Kuasa. Allah menampakkan lahir sifat kuasa tersebut pada manusia seperti manusia kuasa membuat meja, kursi, televise, radio dan lain-lain. Pada hakikatnya kekuasaan atau kemampuan manusia tersebut hanyalah sekedar pemaknaan belaka, sedangkan  Sang Kuasa Hakiki adalah Allah SWT. Dengan demikian manusia adalah Sang Fakir yang sama sekali tidak mempunyai daya dan kemampuan apa-apa. Inilah makna “ Laa haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim.” Tidak ada daya dan kekuatan melainkan daya dan kekuatan Allah SWT. Lebih tegas lagi Allah SWT menjelaskan melalui firman-Nya “ Wallahu khalaqakum wamaa ta’maluun” artinya Alllah yang telah menciptakanmu dan apa-apa yang kamu kerjakan.
Dengan demikian berarti bahwa yang kuasa membuat meja, kursi, televise, radio dan lain-lain hanyalah Allah semata, sedangkan manusia dan semua makhluq yang lain bersifat ‘Ajzun yang sama sekali tidak mempunyai daya dan kemampuan apa-apa. Hal ini pula-lah yang kita ikrarkan didalam shalat “ inna shalaati iwanusukii wamahyaaya wamamaatii lillaahi rabbil ‘alamiin.” Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku adalah milik Allah penguasa alam.
          Iradat, artinya Kehendak. Allah menampakkan sifat kehendak ini pada kehendak manusia dan semua makhluqnya. Seperti, Si Fulan berkehendak menuntut ilmu tauhid di Pesantren Al hayyu, Rangga Warsito berkehendak mengarang serat wirid hidayat jati, Syeck Siti Jenar berkehendak ndhadhar ilmu kasampurnaning gesang dan lain-lain. Kehendak-kehendak manusia sebagaimana contoh di atas pada hakikatnya adalah kehendak Allah. Juga kehendak makhluq-makhluq yang lain seperti walet membuat sarang dengan air liurnya, laba-laba menjerat mangsanya dengan peerangkap jarring-jaringnya, ular hendak melumpuhkan mangsanya dengan bisanya dan lain-lain. Makhluq-makhluq tersebut melakukan aktifitasnya sesuai dengan kodratnya masing-masing berdasarkan insting atau ilham yang diberikan Allah kepadanya.
Lalu bagaimana dengan kehendak-kehendak yang buruk seperti mencuri, berzina dan sebagainya? Apakah juga kehendak Allah? Bagaimana peran Iblis dan Syetan ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perhatikan kutipan ayat berikut: “ Fa alhamahaa fujuurahaa wataqwaaha.” Artinya, maka Allah mengilhamkan keburukan dan ketaqwaan kepadanya. Juga hadist Nabi Muhammad SAW, “ Man yahddillaahu falaa mudhillalah waman yudhlil falaa haadiyalah.” Dan masih banyak ayat maupun hadist lain yang maknanya serupa. Dengan demikian yang menggerakkan hati manusia untuk melakukan kebaikan maupun keburukan adalah Allah sendiri. Sedangkan Iblis maupun syetan hanyalah madhar dari af’al Allah.
Kalau ditanya mengapa Allah memberikan pahala kepada orang yang berbuat kebaikan? Dan menyiksa orang yang berbuat salah? Jawabnya adalah, itu semua Hak Priogatif Allah. Allah bersifat  JAIZ. Dia wenang berbuat apa saja menurut kehendakNya sendiri kepada semua makhluqnya. Bukankah manusia dan seluruh jagat aya seisinya ini milik Allah. Dia bebas berbuat apa saja, mau mengganjar atau menyiksa kepada siapa saja yang dikehendakinya, tanpa ada satupun yang bisa mencegah atau menghalang-halangi. Sifat semacam ini ada yang menyebutnya sifat sak karepe dewe.
Dalam menyikapi hal ini disamping kita harus betul-betul pasrah dan tawwakal kepada-Nya, Rasulullah  SAW mengajarkan do’a kepada umatnya, “ Yaa muqallibal quluub tsabbit qalbi ‘alaa diinika wa’alaa tha’atika.” Wahai dzat yang membolak balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama dan ketaatan padaMu Rasulullah juga pernah berdo’a, “ A’uudzubika minka.” Aku berlindung padaMU dariMU.
          Ilmu, artinya Mengetahui. Maksudnya adalah Allah menampakkan sifat Ilmunya ini pada pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Misalnya Nabi Adam as bisa menunjukkan nama-nama benda dihadapan para malaikat setelah Allah mengajarkan nama-nama benda tersebut kepadanya. Sedangkan para malaikat yang tidak diajarkan nama-nama benda tersebut tidak bisa menyebutkannya. Ketika Allah menyuruh kepada malaikat untuk menyebutkan nama-nama benda tersebut, para malaikat menjawab,” Laa ‘ilma lanaa illaa maa’allamtanaa innaka antassamii’ul ‘aliim.” Sesungguhnya engkau adalah Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dari penjelasan ayat diatas dapat kita petik suatu pengertian bahwa pada hakikatnya Nabi Adam as pun, tidak dapat menyebutkan nama-nama benda tanpa dibarengi sifat ilmunya Allah. Dengan demikian yang mengetahui dan yang bisa menyebutkan nama-nama barang tersebut adalah ALLAH.
Manusia mengetahui ilmu listrik ilmu astronomi, ilmu botani, ilmu biologi, ilmu kedokteran, ilmu cloning dan segala macam bentuk keilmuan, termasuk ilmu hakikat-makrifat, pada hakikatnya tetap Allah saja yang mengetahui. Manusia bisa ini itu, mengetahui ini itu karena  dibarengi sifat ilmu Allah. Jika Allah tidak menampakkan sifat ilmunya ini kepada manusia, maka manusia akan tetap buta, tidak bisa mengetahui apa-apa.
        Hayat, artinya Hidup. Allah itu bersifat Hidup atau Urip. Berarti dimana saja ada kehidupan maka disitu ada Dzat Hidup. Yang namanya Hidup berarti tidak akan kena mati. Hayyun daa-imun laayamuutu Abadan. Urip langgeng tan kena ing pati selawase. Hidup itu kekal adanya. Kalau ada hidup kok tidak kekal , maka namanya bukan hidup, tetapi dihidupi.
Hidup itu hanya satu adanya dari dulu kala sebelum digelarnya jagat sampai sekarang ini dan sampai kapanpun ya hanya satu itu. Dia yang Maha Hidup itu sama sekali tidak mengalami perubahan dan kematian. Tetep langgeng tan kena awah gingsir ing kahanan jati. Dialah yang kita sebut sebagai Dzat Allah.
Dengan  adanya Dzat Yang Maha Hidup ini, maka muncullah kehidupan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan pada hakikatnya tidak hidup. Buktinya manusia, hewan tumbuh-tumbuhan masih mengalami mati. Bukankah hidup itu langgeng?
  Dengan  demikian yang hidup hanyalah Allah semata, manusia bisa bergerak, beraktifitas demikian pula dengan makhluq yang lain. Karena bersamaan dengan sifat Hayatnya Allah. Dengan kata lain Allah menampakkan sifat hayatnya ini pada manusia dan semua makhluqnya. Karena Hidup adalah Hidup-Nya Allah maka kembalinya harus kepada Allah. Jika tidak demikian berarti tersesat namanya. Wallaahu ‘alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar