Sifat Ma’ani,
maksudnya adalah sifat-sifat Allah yang penggambaran makna lahir sifat-sifat tersebut pada manusia.
Sifat ma’ani tersebut ada Tujuh macam; Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’,
Bashar dan Kalam.
Qudrat, artinya, Kuasa. Allah menampakkan lahir sifat
kuasa tersebut pada manusia seperti manusia kuasa membuat meja, kursi,
televise, radio dan lain-lain. Pada hakikatnya kekuasaan atau kemampuan manusia
tersebut hanyalah sekedar pemaknaan belaka, sedangkan Sang Kuasa Hakiki adalah Allah SWT. Dengan demikian
manusia adalah Sang Fakir yang sama sekali tidak mempunyai daya dan kemampuan
apa-apa. Inilah makna “ Laa haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim.”
Tidak ada daya dan kekuatan melainkan daya dan kekuatan Allah SWT. Lebih tegas
lagi Allah SWT menjelaskan melalui firman-Nya “ Wallahu khalaqakum wamaa
ta’maluun” artinya Alllah yang telah menciptakanmu dan apa-apa yang kamu
kerjakan.
Dengan demikian berarti bahwa yang kuasa membuat meja, kursi,
televise, radio dan lain-lain hanyalah Allah semata, sedangkan manusia dan
semua makhluq yang lain bersifat ‘Ajzun yang sama sekali tidak mempunyai daya
dan kemampuan apa-apa. Hal ini pula-lah yang kita ikrarkan didalam shalat “
inna shalaati iwanusukii wamahyaaya wamamaatii lillaahi rabbil ‘alamiin.”
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku adalah milik Allah penguasa
alam.
Iradat, artinya Kehendak. Allah menampakkan sifat
kehendak ini pada kehendak manusia dan semua makhluqnya. Seperti, Si Fulan
berkehendak menuntut ilmu tauhid di Pesantren Al hayyu, Rangga Warsito
berkehendak mengarang serat wirid hidayat jati, Syeck Siti Jenar berkehendak
ndhadhar ilmu kasampurnaning gesang dan lain-lain. Kehendak-kehendak manusia
sebagaimana contoh di atas pada hakikatnya adalah kehendak Allah. Juga kehendak
makhluq-makhluq yang lain seperti walet membuat sarang dengan air liurnya,
laba-laba menjerat mangsanya dengan peerangkap jarring-jaringnya, ular hendak
melumpuhkan mangsanya dengan bisanya dan lain-lain. Makhluq-makhluq tersebut
melakukan aktifitasnya sesuai dengan kodratnya masing-masing berdasarkan
insting atau ilham yang diberikan Allah kepadanya.
Lalu bagaimana dengan kehendak-kehendak yang buruk seperti
mencuri, berzina dan sebagainya? Apakah juga kehendak Allah? Bagaimana peran
Iblis dan Syetan ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perhatikan kutipan ayat
berikut: “ Fa alhamahaa fujuurahaa wataqwaaha.” Artinya, maka Allah
mengilhamkan keburukan dan ketaqwaan kepadanya. Juga hadist Nabi Muhammad SAW,
“ Man yahddillaahu falaa mudhillalah waman yudhlil falaa haadiyalah.” Dan masih
banyak ayat maupun hadist lain yang maknanya serupa. Dengan demikian yang
menggerakkan hati manusia untuk melakukan kebaikan maupun keburukan adalah
Allah sendiri. Sedangkan Iblis maupun syetan hanyalah madhar dari af’al Allah.
Kalau ditanya mengapa Allah memberikan pahala kepada orang
yang berbuat kebaikan? Dan menyiksa orang yang berbuat salah? Jawabnya adalah,
itu semua Hak Priogatif Allah. Allah bersifat
JAIZ. Dia wenang berbuat apa saja menurut kehendakNya sendiri kepada
semua makhluqnya. Bukankah manusia dan seluruh jagat aya seisinya ini milik
Allah. Dia bebas berbuat apa saja, mau mengganjar atau menyiksa kepada siapa
saja yang dikehendakinya, tanpa ada satupun yang bisa mencegah atau
menghalang-halangi. Sifat semacam ini ada yang menyebutnya sifat sak karepe
dewe.
Dalam menyikapi hal ini disamping kita harus betul-betul
pasrah dan tawwakal kepada-Nya, Rasulullah
SAW mengajarkan do’a kepada umatnya, “ Yaa muqallibal quluub tsabbit
qalbi ‘alaa diinika wa’alaa tha’atika.” Wahai dzat yang membolak balikkan hati,
tetapkanlah hatiku pada agama dan ketaatan padaMu Rasulullah juga pernah
berdo’a, “ A’uudzubika minka.” Aku berlindung padaMU dariMU.
Ilmu, artinya Mengetahui. Maksudnya adalah Allah menampakkan
sifat Ilmunya ini pada pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Misalnya Nabi
Adam as bisa menunjukkan nama-nama benda dihadapan para malaikat setelah Allah
mengajarkan nama-nama benda tersebut kepadanya. Sedangkan para malaikat yang
tidak diajarkan nama-nama benda tersebut tidak bisa menyebutkannya. Ketika
Allah menyuruh kepada malaikat untuk menyebutkan nama-nama benda tersebut, para
malaikat menjawab,” Laa ‘ilma lanaa illaa maa’allamtanaa innaka antassamii’ul
‘aliim.” Sesungguhnya engkau adalah Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.
Dari penjelasan ayat diatas dapat kita petik suatu
pengertian bahwa pada hakikatnya Nabi Adam as pun, tidak dapat menyebutkan
nama-nama benda tanpa dibarengi sifat ilmunya Allah. Dengan demikian yang
mengetahui dan yang bisa menyebutkan nama-nama barang tersebut adalah ALLAH.
Manusia mengetahui ilmu listrik ilmu astronomi, ilmu botani,
ilmu biologi, ilmu kedokteran, ilmu cloning dan segala macam bentuk keilmuan,
termasuk ilmu hakikat-makrifat, pada hakikatnya tetap Allah saja yang
mengetahui. Manusia bisa ini itu, mengetahui ini itu karena dibarengi sifat ilmu Allah. Jika Allah tidak
menampakkan sifat ilmunya ini kepada manusia, maka manusia akan tetap buta,
tidak bisa mengetahui apa-apa.
Hayat, artinya Hidup. Allah itu bersifat Hidup atau Urip.
Berarti dimana saja ada kehidupan maka disitu ada Dzat Hidup. Yang namanya
Hidup berarti tidak akan kena mati. Hayyun daa-imun laayamuutu Abadan. Urip
langgeng tan kena ing pati selawase. Hidup itu kekal adanya. Kalau ada hidup
kok tidak kekal , maka namanya bukan hidup, tetapi dihidupi.
Hidup itu hanya satu adanya dari dulu kala sebelum
digelarnya jagat sampai sekarang ini dan sampai kapanpun ya hanya satu itu. Dia
yang Maha Hidup itu sama sekali tidak mengalami perubahan dan kematian. Tetep
langgeng tan kena awah gingsir ing kahanan jati. Dialah yang kita sebut sebagai
Dzat Allah.
Dengan adanya Dzat
Yang Maha Hidup ini, maka muncullah kehidupan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan
pada hakikatnya tidak hidup. Buktinya manusia, hewan tumbuh-tumbuhan masih
mengalami mati. Bukankah hidup itu langgeng?
Dengan demikian yang
hidup hanyalah Allah semata, manusia bisa bergerak, beraktifitas demikian pula
dengan makhluq yang lain. Karena bersamaan dengan sifat Hayatnya Allah. Dengan
kata lain Allah menampakkan sifat hayatnya ini pada manusia dan semua
makhluqnya. Karena Hidup adalah Hidup-Nya Allah maka kembalinya harus kepada
Allah. Jika tidak demikian berarti tersesat namanya. Wallaahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar