Minggu, 13 Mei 2012

Penjabaran Sifat Nafsiyah


     Sifat Nafsiyah adalah sifat yang hanya Khusus disandarkan atau dikhitabkan kepada Allah SWT. Selain Allah tidak berhak menyandang sifat ini. Adapun Sifat Nafsiyah ini hanya ada satu, yaitu: Sifat Wujud,  Wujud ( ada ). Kebalikan dari dari sifat wujud adalah Adam ( tidak ada ). Jadi yang Ada hanya Allah, selain Allah Tidak Ada.
     Berarti pada Hakekatnya manusia dan semua Makhluq yang tersebar dijagat raya ini adalah Tidak Ada. Dengan kata lain, yang ada hanyalah Satu Wujud, yaitu Wujud Allah. Inilah yang disebut dengan istilah Wahdatul Wujud.
Wujud Allah disebut Wujud Haqiqi atau Wujud Mutlak, karena Allah adalah Dzat Wajibul Wujud ( wajib adanya ). Sedangkan wujud selain Allah disebut Wujud Majazi, karena adanya didahului oleh ketiadaan. Sesuatu yang asalnya tidak ada, selamanya tidak ada. Jadi yang ada adalah Sang Ada itu sendiri, yaitu Dzat Maulana Allah Azza Wa Jalla. Inilah makna “ Laa Maujuuda bi Haqqin Illallah.” ( Tidak ada wujud yang Haqiqi kecuali wujud Allah SWT ).
     Allah adalah Dzat, sedangkan selain Allah disebut Sifat. Antara Dzat dan Sifat tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Seperti Madu dengan Manisnya, Garam dengan Asinnya. Jika Madu diambil, manisnya ikut. Jika Garam diambil, rasa Asinnya juga ikut. Allah dengan Makhluqnya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam hal ini orang Jawa memberikan istilah: Manunggaling Kawula Kelawan Gusti. Tetapi perlu diingat bahwa bersatunya hamba dengan Tuhannya, tidak sama seperti bersatunya sesuatu dengan sesuatu yang lain. Karena bersatunya sesuatu dengan sesuatu yang lain masih ada Jarak, walau sangat limit sekali. Soal penggambaran madu dengan rasa manisnya, garam dengan rasa asinnya, hanyalah sekedar contoh untuk memudahkan pemahaman. Jadi kalau ditanya bagaimana bentuk keterpaduan antara Kawula dengan Gusti? Maka jawabnya adalah: Tan Kena Kinaya Apa atau tidak bisa dikira dan diserupakan dengan sesuatu apapun. Karena Allah hanya Satu. Dia yang Awal, Dia yang Akhir, Dia yang Dhahir, Dia yang Bathin. Tidak ada satupun wujud yang ada, baik wujud yang bersifat dhahir maupun bathin, melainkan Wujud Allah semata. Tidak ada Dzat, Sifat, Asma maupun Af’al, melainkan milik Allah semata.
Lalu bagaimana dengan manusia yang juga terdiri atas Dua Unsur, dhahir dan bathin? Ada sebuah Hadist Qudsi yang menjelaskan bahwa: “ Al insaanu sirrii wa ana sirruhu.” Artinya: Manusia adalah RahasiaKu dan Aku adalah Rahasia Manusia. Juga ada beberapa potongan ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan demikian: “ Wa fii anfusikum afalaa tubshiruun.” Artinya: Dan yang ada pada dirimu sendiri apakah kamu tidak melihatnya?
Menurut Muhammad Ibn Fadlillah, bahwa “ segala yang ada ini dari segi hakikat adalah Tuhan, sedangkan dari segi yang kelihatan secara lahir Bukan Tuhan.” Kata beliau, sebagaimana dikutip oleh Doktor Simuh dalam bukunya Mistik Islam Kejawen dalam Wirid Hidayat Jati: “ Wa inna jamii’al maujuudaati min khaitsul wujuudi ‘ainul khaqqi subhaanahu wa ta’ala min khaitsutta’yuni ghairul khaqqi subhaanahu wata’ala.” Artinya: sesungguhnya segala yang wujud dari segi wujud haqiqi adalah Alllah SWT, sedangkan dari segi pandangan nyata ( dhahir ) bukan Allah SWT. Dalam hal ini beliau memberikan tamsil atau perumpamaan: uap, air, es, salju dan buih, dari segi hakikat adalah air, akan tetapi dari wujud lahir bukan air.
Dalam Serat Tuhfah yang berbahasa jawa dan bersekar macapat dijelaskan:
“ Satuhune ananing hyang jati,
Maha suci saking warna rupa,
Tan gingsir owah anane,
Sawusing asyya maujud,
Datan owah anane sami,
Sawusing ana asyya,
Tetep ing hyang agung,
Dumeling nyata ing jagat,
Ananing hyang ing mangke kadya ing nguni,
Langgeng tan kena owah.
Panganggening hyang awarna warni,
Beda-beda tanpa wiwilangan,
Dadi aling-aling kabeh,
Kang tan oleh pituduh,
Datan mulat ing sejati,
Kandheg ing warna rupa,
Tingale abawur,
Datan wruh ing jatinira,
Kesasaring dedalan marga kang jati,
Datan wruh ing kasidan.”
Maksudnya kurang lebih sebagai berikut:
“ Tuhan merupakan aspek batin dari segala yang ada di alam semesta, bahwa segala yang ada dialam semesta adalah wujud majazi dari satu hakikat yang tunggal ( Tuhan ), ibarat berbagai macam pakaian untuk wujud batin yang Esa, atau ibarat bayang-bayang, adanya tiada menyimpang dari wujud batin yang ada dalam ilmu Tuhan, Tuhan sebagai Dzat mutlak tidak berupa, tidak berwarna dan tidak dapat dikenal, wujud kekal tidak berubah, baik sebelum atau sesudah terciptanya alam semesta.”
Mengenai konsep kesatuan manusia dengan Tuhan, dalam serat tersebut juga dijelaskan: “…away andadi pangeran, lir pangucaping wang sangir, tatkala nyata ing sira, pangeran iku anane, tatapi dudu liyanipun, ewuh mangke panarima.” Maksudnya adalah Manusia bukan Tuhan, tetapi juga tidak berbeda dengan Tuhan.”
Disinilah konsep “ Loro Ning Tunggal “  dalam serat tuhfah, manusia bukan Tuhan tetapi juga tidak berbeda dengan Tuhan. Dalam kesatuan dengan Tuhan, manusia digambarkan sebagai ombak dalam lautan, laksana buih dalam air, laksana dengung dengan suara. Disinilah letak rahasia manusia, barangsiapa yang telah dapat menyingkap tersebut, maka sungguh dapat pula menyingkap Rahasia Uluhiyah atau Rahasia Ketuhanan. Amin. Walahu’alam.

Sifat Dua Puluh Kawedhar

     Sifat-Sifat Allah SWT sebenarnya sangat banyak, tiada terbilang banyaknya. Kalau ditanya berapa Sifat-Sifat Allah tersebut? Hanya Dia sajalah yang lebih tahu akan jawabnya. Akan tetapi secara Ijmali, Para Ulama mengelompokkan Sifat-Sifat Allah tersebut kedalam 20 Sifat. Kedua puluh sifat tersebut dikelompokkan lagi menjadi 4 bagian.
     Adapun perinciannya sebagai berikut: 
1. Sifat Nafsiyah ( Wujud ),
2. Sifat Salbiyah ( Qidam, Baqa', Mukhalafatul lil hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyat ),
3. Sifat Ma'ani ( Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama', Bashar, Kalam )
4. Sifat Ma'nawiyah ( Qadiran, Muridan, 'Aliman, Hayyan, Sami'an, Bashiran, Mutakalliman ).
     Untuk dapat mengenal Allah, kita harus memahami benar benar kedua puluh sifat tersebut. Agar kita dapat dengan mudah memahami kedua puluh sifat tersebut maka sebagai acuannya adalah Diri Kita Sendiri. Jadi, kita harus membaca kedua puluh sifat tersebut pada diri kita sendiri. Mengapa demikian? karena ada sebuah hadist Nabi Muhammad SAW, yang mengatakan:
   " Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa Rabbahu."
( Barangsiapa yang mengetahui Dirinya, maka akan mengetahui Tuhannya ).

Nah, oleh karena itu untuk para pencari kebenaran sekalian layaknya setiap kata perkata kalimat perkalimat kita harus memahaminya secara benar dan hati-hati agar kelak dikemudian hari tidak menimbulkan pemahaman yang keliru, kita fahami dulu setiap kalimat dengan Hati tanpa melibatkan emosi maupun ego kita, biarlah untuk sementara waktu itu mengalir kedalam Kalbu kita, yakinlah selama apa yang kita niatkan benar Inshaallah kita akan menemukan kebenaran yang Hakiki, Amin. Wallahualam.

Kesaksian Hakiki Mata Hati


          Bila hati sudah menjadi bersih maka hati akan menyinarkan cahayanya. Cahaya hati ini dinamakan Nur Kalbu. Ia akan menerangi akal lalu akal dapat memikirkan dan merenungi tentang hal-hal ketuhanan yang menguasai alam dan juga dirinya sendiri. Renungan akal terhadap dirinya sendiri membuatnya menyadari akan perjalanan hal-hal ketuhanan yang menguasai dirinya. Kesadaran ini membuatnya merasakan dengan mendalam betapa dekatnya Allah swt dengannya. Lahirlah di dalam hati nuraninya perasaan bahwa Allah selalu mengawasinya. Allah melihat segala gerak-geriknya, mendengar pertuturannya dan mengetahui bisikan hatinya. Jadilah dia seorang Mukmin yang cermat dan waspada.

Di antara sifat yang dimiliki oleh orang yang sampai kepada martabat Mukmin adalah:
1: Cermat dalam pelaksanaan hukum Allah s.w.t.
2: Hati tidak cenderung kepada harta, merasa cukup dengan apa yang ada dan tidak sayang membantu orang lain dengan harta yang dimilikinya.
3: Bertaubat dengan sebenarnya (taubat nasuha) dan tidak kembali lagi kepada kejahatan.
4: rohaninya cukup kuat untuk menanggung kesusahan dengan sabar dan bertawakal kepada Allah
5: Kehalusan kerohaniannya membuatnya merasa malu kepada Allah dan merendahkan diri kepada-Nya.

 Orang Mukmin yang taat kepada Allah swt, kuat melakukan ibadat, akan meningkatlah kekuatan rohaninya. Dia akan kuat melakukan tajrid yaitu menyerahkan urusan kehidupannya kepada Allah Dia tidak lagi khawatir terhadap sesuatu yang menimpanya, walaupun bala yang besar. Dia tidak lagi menempatkan ketergantungan kepada sesama makhluk. Hatinya telah teguh dengan perasaan ridha terhadap apapun yang ditentukan Allah untuknya. Bala tidak lagi menggugat imannya dan nikmat tidak lagi menggelincirkannya. Baginya bala dan nikmat adalah sama yaitu takdir yang Allah tentukan untuknya. Apa yang Allah takdirkan itulah yang paling baik. Orang yang seperti ini selalu di dalam pengasuhan Allah karena dia telah menyerahkan dirinya kepada Allah swt Allah kurniakan kepadanya kemampuan untuk melihat dengan mata hati dan bertindak melalui Petunjuk Laduni, tidak lagi melalui pikiran, kehendak diri sendiri atau angan-angan. Pandangan mata hati pada hal ketuhanan mempengaruhi hatinya (kalbu). Dia mengalami suasana yang menyebabkan dia membantah keberadaan dirinya dan diisbatkannya kepada Wujud Allah Suasana ini timbul akibat hakikat ketuhanan yang dialami oleh hati .. Dia merasa benar-benar akan keesaan Allah bukan sekedar mempercayainya. Pengalaman tentang hakikat dikatakan memandang dengan mata hati. Mata hati melihat atau menyaksikan keesaan Allah swt dan hati merasakan akan keadaan keesaan itu. Mata hati hanya melihat kepada Wujud Allah, tidak lagi melihat kepada wujud dirinya. Orang yang di dalam suasana seperti ini telah berpisah dari sifat-sifat kemanusiaan. Dalam keadaan demikian dia tidak lagi mengindahkan peraturan masyarakat. Dia hanya mementingkan soal perhubungannya dengan Allah Soal duniawi seperti makan, minum, pakaian dan pergaulan tidak lagi mendapat perhatiannya. Kelakuannya bisa menyebabkan orang mengira dia sudah gila. Orang yang mencapai tingkat ini dikatakan mencapai makam tauhid sifat. Hatinya jelas merasakan bahwa tidak ada yang berkuasa melainkan Allah dan segala sesuatu datangnya dari Allah swt

 Rohani manusia melalui beberapa peningkatan dalam proses mengenal Tuhan. Pada tingkat pertama terbuka mata hati dan Nur Kalbu memancar menerangi akalnya. Seorang Mukmin yang akalnya diterangi Nur Kalbu akan melihat betapa dekatnya Allah Dia melihat dengan ilmunya dan mendapat keyakinan yang dinamakan ilmul yaqin. Ilmu berhenti di situ. Pada tahap keduanya mata hati yang terbuka sudah boleh melihat. Dia tidak lagi melihat dengan mata ilmu tetapi melihat dengan mata hati. Kemampuan mata hati memandang itu dinamakan kasyaf. Kasyaf melahirkan identifikasi atau makrifat. Seseorang yang berada di dalam makam makrifat dan mendapat keyakinan melalui kasyaf dikatakan memperoleh keyakinan yang dinamakan ainul yaqin. Pada tingkat ainul yaqin makrifatnya gaib dan dia juga gaib dari dirinya sendiri. Maksud ghaib di sini adalah hilang perhatian dan kesadaran terhadap sesuatu hal .. Beginilah hukum makrifat yang terjadi. Makrifat lebih tinggi nilainya dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah pencapaian terhadap persoalan yang terpecah-pecah bidangnya. Makrifat pula adalah hasil pencapaian terhadap hakikat-hakikat yang menyeluruh yaitu hakikat kepada hakikat-hakikat. Tetapi, kesaksian mata hati jauh lebih tinggi dari ilmu dan makrifat karena kesaksian itu adalah hasil dari kemauan keras dan perjuangan yang gigih disertai dengan upaya hati dan pengalaman. Kesaksian adalah setinggi-tinggi keyakinan. Penyaksian yang paling tinggi adalah kesaksian hakiki oleh mata hati. Ia merupakan keyakinan yang paling tinggi dan dinamakan haqqul yaqin. Pada tingkat kesaksian hakiki mata hati, mata hati tidak lagi melihat kepada ketiadaan dirinya atau keberadaan dirinya, tetapi Allah dilihat dalam segala sesuatu, segala kejadian, dalam diam dan dalam tutur-kata. Penyaksian hakiki mata hati melihat-Nya tanpa dinding penutup antara kita dengan-Nya. Tidak ada lagi antara atau ruang antara kita dengan Dia. Dia berfirman:
Dan Ia (Allah) tetap bersama-sama kamu di mana saja kamu berada. (Ayat 4: Surah al-Hadiid)

Dia tidak terpisah dari kamu. Penyaksian yang hakiki ialah melihat Allah dalam segala sesuatu dan di setiap waktu. Pandangannya terhadap makhluk tidak menutup pandangannya terhadap Allah swt Inilah makam keteguhan yang dipenuhi oleh ketenangan dan kedamaian yang sejati dan tidak berubah-ubah, bernaung di bawah payung Yang Maha Agung dan Ketetapan Yang Teguh. Pada kesaksian yang hakiki tiada lagi ucapan, tiada bahasa, tiada ibarat, tiada ilmu, tiada makrifat, tiada pendengaran, tiada kesadaran, tiada hijab dan semuanya sudah tiada. Tabir hijab telah tersingkap, maka Dia dipandang tanpa ibarat, tanpa huruf, tanpa abjad. Allah swt dipandang dengan mata keyakinan bukan dengan mata zahir atau mata ilmu atau kasyaf. Yakin, semata-mata yakin bahwa Dia yang dipandang sekalipun tidak ada sesuatu pengetahuan untuk diceritakan dan tidak ada sesuatu identifikasi untuk dipamerkan.

 Orang yang memperoleh haqqul yaqin berada dalam suasana hatinya kekal bersama-sama Allah di setiap saat, setiap ruang dan setiap kondisi. Dia kembali ke kehidupan seperti manusia biasa dengan suasana hati yang demikian, di mana mata hatinya senantiasa menyaksikan Yang Hakiki. Allah dilihat dalam dua hal yang berlawanan dengan sekali pandang. Dia melihat Allah pada orang yang membunuh dan orang yang kena bunuh. Dia melihat Allah yang menghidupkan dan mematikan, menaikkan dan menjatuhkan, menggerakkan dan mendiamkan. Tidak ada lagi perkaitannya dengan keberadaan atau ketidakwujudan dirinya. Wujud Allah Esa, Allah meliputi segala sesuatu.