Kamis, 07 Juni 2012

Penjabaran Sifat Ma’ani


    Sifat Ma’ani, maksudnya adalah sifat-sifat Allah yang penggambaran makna  lahir sifat-sifat tersebut pada manusia. Sifat ma’ani tersebut ada Tujuh macam; Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar dan Kalam.
        Qudrat, artinya, Kuasa. Allah menampakkan lahir sifat kuasa tersebut pada manusia seperti manusia kuasa membuat meja, kursi, televise, radio dan lain-lain. Pada hakikatnya kekuasaan atau kemampuan manusia tersebut hanyalah sekedar pemaknaan belaka, sedangkan  Sang Kuasa Hakiki adalah Allah SWT. Dengan demikian manusia adalah Sang Fakir yang sama sekali tidak mempunyai daya dan kemampuan apa-apa. Inilah makna “ Laa haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim.” Tidak ada daya dan kekuatan melainkan daya dan kekuatan Allah SWT. Lebih tegas lagi Allah SWT menjelaskan melalui firman-Nya “ Wallahu khalaqakum wamaa ta’maluun” artinya Alllah yang telah menciptakanmu dan apa-apa yang kamu kerjakan.
Dengan demikian berarti bahwa yang kuasa membuat meja, kursi, televise, radio dan lain-lain hanyalah Allah semata, sedangkan manusia dan semua makhluq yang lain bersifat ‘Ajzun yang sama sekali tidak mempunyai daya dan kemampuan apa-apa. Hal ini pula-lah yang kita ikrarkan didalam shalat “ inna shalaati iwanusukii wamahyaaya wamamaatii lillaahi rabbil ‘alamiin.” Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku adalah milik Allah penguasa alam.
          Iradat, artinya Kehendak. Allah menampakkan sifat kehendak ini pada kehendak manusia dan semua makhluqnya. Seperti, Si Fulan berkehendak menuntut ilmu tauhid di Pesantren Al hayyu, Rangga Warsito berkehendak mengarang serat wirid hidayat jati, Syeck Siti Jenar berkehendak ndhadhar ilmu kasampurnaning gesang dan lain-lain. Kehendak-kehendak manusia sebagaimana contoh di atas pada hakikatnya adalah kehendak Allah. Juga kehendak makhluq-makhluq yang lain seperti walet membuat sarang dengan air liurnya, laba-laba menjerat mangsanya dengan peerangkap jarring-jaringnya, ular hendak melumpuhkan mangsanya dengan bisanya dan lain-lain. Makhluq-makhluq tersebut melakukan aktifitasnya sesuai dengan kodratnya masing-masing berdasarkan insting atau ilham yang diberikan Allah kepadanya.
Lalu bagaimana dengan kehendak-kehendak yang buruk seperti mencuri, berzina dan sebagainya? Apakah juga kehendak Allah? Bagaimana peran Iblis dan Syetan ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perhatikan kutipan ayat berikut: “ Fa alhamahaa fujuurahaa wataqwaaha.” Artinya, maka Allah mengilhamkan keburukan dan ketaqwaan kepadanya. Juga hadist Nabi Muhammad SAW, “ Man yahddillaahu falaa mudhillalah waman yudhlil falaa haadiyalah.” Dan masih banyak ayat maupun hadist lain yang maknanya serupa. Dengan demikian yang menggerakkan hati manusia untuk melakukan kebaikan maupun keburukan adalah Allah sendiri. Sedangkan Iblis maupun syetan hanyalah madhar dari af’al Allah.
Kalau ditanya mengapa Allah memberikan pahala kepada orang yang berbuat kebaikan? Dan menyiksa orang yang berbuat salah? Jawabnya adalah, itu semua Hak Priogatif Allah. Allah bersifat  JAIZ. Dia wenang berbuat apa saja menurut kehendakNya sendiri kepada semua makhluqnya. Bukankah manusia dan seluruh jagat aya seisinya ini milik Allah. Dia bebas berbuat apa saja, mau mengganjar atau menyiksa kepada siapa saja yang dikehendakinya, tanpa ada satupun yang bisa mencegah atau menghalang-halangi. Sifat semacam ini ada yang menyebutnya sifat sak karepe dewe.
Dalam menyikapi hal ini disamping kita harus betul-betul pasrah dan tawwakal kepada-Nya, Rasulullah  SAW mengajarkan do’a kepada umatnya, “ Yaa muqallibal quluub tsabbit qalbi ‘alaa diinika wa’alaa tha’atika.” Wahai dzat yang membolak balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama dan ketaatan padaMu Rasulullah juga pernah berdo’a, “ A’uudzubika minka.” Aku berlindung padaMU dariMU.
          Ilmu, artinya Mengetahui. Maksudnya adalah Allah menampakkan sifat Ilmunya ini pada pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Misalnya Nabi Adam as bisa menunjukkan nama-nama benda dihadapan para malaikat setelah Allah mengajarkan nama-nama benda tersebut kepadanya. Sedangkan para malaikat yang tidak diajarkan nama-nama benda tersebut tidak bisa menyebutkannya. Ketika Allah menyuruh kepada malaikat untuk menyebutkan nama-nama benda tersebut, para malaikat menjawab,” Laa ‘ilma lanaa illaa maa’allamtanaa innaka antassamii’ul ‘aliim.” Sesungguhnya engkau adalah Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dari penjelasan ayat diatas dapat kita petik suatu pengertian bahwa pada hakikatnya Nabi Adam as pun, tidak dapat menyebutkan nama-nama benda tanpa dibarengi sifat ilmunya Allah. Dengan demikian yang mengetahui dan yang bisa menyebutkan nama-nama barang tersebut adalah ALLAH.
Manusia mengetahui ilmu listrik ilmu astronomi, ilmu botani, ilmu biologi, ilmu kedokteran, ilmu cloning dan segala macam bentuk keilmuan, termasuk ilmu hakikat-makrifat, pada hakikatnya tetap Allah saja yang mengetahui. Manusia bisa ini itu, mengetahui ini itu karena  dibarengi sifat ilmu Allah. Jika Allah tidak menampakkan sifat ilmunya ini kepada manusia, maka manusia akan tetap buta, tidak bisa mengetahui apa-apa.
        Hayat, artinya Hidup. Allah itu bersifat Hidup atau Urip. Berarti dimana saja ada kehidupan maka disitu ada Dzat Hidup. Yang namanya Hidup berarti tidak akan kena mati. Hayyun daa-imun laayamuutu Abadan. Urip langgeng tan kena ing pati selawase. Hidup itu kekal adanya. Kalau ada hidup kok tidak kekal , maka namanya bukan hidup, tetapi dihidupi.
Hidup itu hanya satu adanya dari dulu kala sebelum digelarnya jagat sampai sekarang ini dan sampai kapanpun ya hanya satu itu. Dia yang Maha Hidup itu sama sekali tidak mengalami perubahan dan kematian. Tetep langgeng tan kena awah gingsir ing kahanan jati. Dialah yang kita sebut sebagai Dzat Allah.
Dengan  adanya Dzat Yang Maha Hidup ini, maka muncullah kehidupan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan pada hakikatnya tidak hidup. Buktinya manusia, hewan tumbuh-tumbuhan masih mengalami mati. Bukankah hidup itu langgeng?
  Dengan  demikian yang hidup hanyalah Allah semata, manusia bisa bergerak, beraktifitas demikian pula dengan makhluq yang lain. Karena bersamaan dengan sifat Hayatnya Allah. Dengan kata lain Allah menampakkan sifat hayatnya ini pada manusia dan semua makhluqnya. Karena Hidup adalah Hidup-Nya Allah maka kembalinya harus kepada Allah. Jika tidak demikian berarti tersesat namanya. Wallaahu ‘alam.

Rabu, 06 Juni 2012

Penjabaran Sifat Salbiyah.


   Sifat Salbiyah adalah Meniadakan sifat-sifat yang tidak layak bagi Allah SWT. Adapun sifat-sifat Allah yang termasuk kedalam sifat salbiyah ini ada 5, yaitu: Qidam, Baqa, Mukhalafatu lil hawaditsi, Qiyaamuhu binafsihi, Wahdaniyat.
a                Qidam artinya terdahulu. Maksudnya tidak berpermulaan.Sebelum adanya sesuatu, jagat belum digelar, bumi langit belum ada, arah barat-timur, utara-selatan, atas-bawah juga belum ada. Yang ada hanyalah Allah semata yang bersifat Jalal ( yang perkasa ).
Disini Allah belum dikenali, karena Dia Yang Maha Perkasa belum menampakkan keberadaanNya. Yang mengetahui adanya Dia hanya Dia sendiri. Maka keadaan semacam ini disebut: Laa Ta'yun, artinya belum menampakkan Diri ( belum bertajalli ). Kondisi semacam ini sama dengan manusia jauh sebelum kelahirannya. Misalnya : kita sekarang ini berumur tiga puluh tahun, tiga puluh satu tahun yang lalu kita dimana? Siapa yang mengetahui keberadaan kita, dan apa yang kita rasakan saat itu? Kita tidak mengetahuinya, karena kita belum bertajalli atau belum menampakkan diri. Martabat atau kedudukan semacam ini dikenal dengan istilah Martabat Ahadiyat. Allah Ijen Tur Ngijeni. Tunggal sendiri tidak ada yang menemani. Inilah makna firman Allah SWT: “ Qul Huwallaahu Ahad.” Artinya: “ Katakanlah hai Muhammad Allah itu Satu.”
     Kalau yang Ada, terdahulu hanyalah Allah, lalu asal muasal bumi-langit dengan isinya, termasuk manusia? Dengan apa mereka itu diciptakan? Apa bahannya?
Nabi Muhammad SAW menjelaskan melalui sabdanya: “ Awwaalu maakhalaqa nuuru nabiyyika ya jabir wa khalaqa minhul asyyaa’a wa anta min tilka asyaa’a.” artinya, “ Yang mula-mula diciptakan adalah Nur Nabimu Wahai Jabir ( Nur Muhammad ) dan dari Nur tersebut diciptakan segala sesuatu dan kamu adalah bagian dari segala sesuatu tersebut.”
Dari penjelasan hadist tersebut dapat kita ketahui bahwa bibit atau dasar penciptaan manusia dan makhluq-makhluq yang lain adalah Nur Muhammad. Dan Nur Muhammad berasa dari Nur Allah. Jadi, semua yang ada dijagat raya ini berasal dari Allah atau berasal dari Dzat Qadim yang azali dan abadi.
Kalau semua berasal dari Allah, lalu hendak kemana kembalinya semua yang ada ini? Dalam hal ini Allah SWT menjawab melalui firmanNya, “ Innaa lillaahi wa innaa illaihi raji’uun.” Artinya, “ Sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan sesungguhnya kita semua akan kembali kepadaNya.”
     Oleh karena itu, dalam menghadapi segala sesuatu kita harus bias mengembalikan kepada Yang Qadim ini. Dalam artian, kita tidak bias apa-apa, tidak memiliki apa-apa. Semua persoalan datangnya dari Alllah dan kesana pula kita kembalikan segala persoalan tersebut. Dengan demikian hati kita tetap Manunggal dengan yang Qadim. Kalau hati sudah manunggal dengan yang qadim, maka otomatis hati kita akan lapang, akan jembar, akan luas sebagaimana luasnya Samudera Hayat yang tidak bertepi. Firman Allah SWT. “ Wa man yatawwakal ‘alallaahi fahuwa hasbuhu.” Artinya , “ Barangsiapa yang bertawwakal kepada Allah, maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya.”
Tetapi sebaliknya, jika didalam menghadapi segala sesuatu kita merasa bisa menyelesaikan sendiri, tidak dikembalikan kepada yang qadim, kita lupa akan Innaalillahi wa inna illaihi raji’uun, maka sungguh kita akan mendapat kesulitan besar. Kita akan stress, bingung, mumet dan sebagainya. Kalau sudah demikian kita tidak mempunyai keluasan didalam menjalani kehidupan ini. Kesulitan demi kesulitan akan terus kita hadapi. Inilah makna firman Allah: “ Waman a’radla’an dzikrii fa inna lahu ma’iisyatan dlankaa.” Artinya, “Barangsiapa yang berpaling dari mengingatKu maka adalah baginya penghidupan yang sempit.”
Oleh karena itu kita harus bias menghapus sifat-sifat keminter atau merasa mampu untuk bisa menyelesaikan sendiri segala persoalan yang kita hadapi.
   Dalam hal ini orang jawa memberikan paweling atau nasehat: “ Ojo rumongso biso ananging bisoho ngrumangsani.” Maksudnya adalah kita jangan menjadi orang yang sok, sok pintar, sok jagoan, sok hebat dan sok-sok yang lainnya. Tapi kita harus menyadari bahwa kita ini asalnya tidak ada. Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak ada bisa mengadakan sesuatu? Yang ada hanyalah Dzat yang qadim itu sendiri. Berarti hanya Dia sajalah yang dapat menciptakan dan meniadakan sesuatu. Inilah makna: “ Laa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adhiim.” Tidak ada daya dan kekuatan kecuali daya dan kekuatan Allah SWT.
b           Baqa artinya, kekal . maksudnya adalah Dzat Allah SWT hidup terus selamanya tidak pernah mati dan tidak mengalami kerusakan atapun perubahan.
Dari dulu sejak azali sampai kapanpun tetap seperti itu keadaannya, tidak berubah sama sekali. Hal ini sebagaimana firmanNya: “ Kullu syai’in haalikun illaa wajhahu.” Artinya, “ Segala sesuatu adalah rusak kecuali wajahNya.”  Orang jawa mengatakan: “ Tan Kena Owah Gingsir Ing Kahanan Jati.” Kahanan jati atau keadaan yang sebenarnya, itulah yang tidak mengalami kerusakan dan perubahan. Dari dulu sampai sekarang dan sampai kapanpun ya begitu itu keadaannya.
     Dalam diri manusia juga ada sesuatu yang bersifat Langgeng atau tidak bisa mengalami perubahan dan tidak kena pati, inilah yang disebut dengan istilah Manusia Sejati. Dalam serat wirid hidayat jati disebutkan demikian:  Ya Ingsun kanga ran manungsa sejati, urip tan kena ing pati tetep langgeng tan kena owah gingsir ing kahanan jati. Jangan bingung, Aja was sumelang. Manusia adalah rahasiaKU dan AKU adalah rahasia Manusia. Demikian bunyi firman Allah yang disampaikan melalui lisan Nabi Muhammad SAW. Ingat antara Dzat dan Sifat tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Jasad manusia adalah sifat yang bersifat fana’, sedangkan batin manusia adalah dzat yang bersifat Baqa’. Dengan demikian lahir batin Allah ada pada diri kita pribadi.
     Untuk dapat menyatu terus dengan Sang Baqa’, maka kita harus melakukan Riyadlah atau latihan-latihan spiritual melalui bimbingan seorang Master atau Guru MURSYID. Guru atau Mursyid yang dimaksud adalah orang yang betul-betul faham dengan ilmu ini. Artinya orang yang sudah tahu tentang Sangkan Paran dan mendapat Hibah atau Ijazah untuk mengajarkan ilmu tersebut. 
               Mukhalafatu lil hawaditsi, artinya berbeda dengan yang baru.Wujud Dzat Allah yang bersifat qadim adalah berupa Nur atau Cahaya. Hal ini dijelaskan oleh Allah didalam Al-Qur’an Surah Annur ayat 35. Adapun sifat cahaya-Nya adalah Nuurun ‘ala nuurin, chaya diatas cahaya. Artinya Dia adalah sumber dari segala sumber cahaya. Adapun jagat raya dengan segala isinya ini adalah merupakan pancaran dari Cahaya-Nya. Bagaiman mungkin sesuatu yang hanya sekedar bias atau pancaran ini bisa menyamai sumber aslinya. Jadi Nur yang merupakan Manba ‘ul awwal atau sumber yang pertama tidak bisa diserupai oleh sesuatu yang merupakan biasnya. Firman Allah, “Wa lam yakun lahuu kufuwan ahad.” Artinya, Tidak ada sesuatupun yang setara dengan-Nya. Kita ambil perumpamaan matahari dan bulan. Pada malam hari kita melihat bulan bersinar menyinari bumi. Sinarnya masuk kedalam lubang ventilasi rumah kita, kemudian mengenai cermin almari dan selanjutnya oleh cermin tersebut sinar bulan dipantulkan ke lantai. Lantai akan menjadi terang karenanya. Lantai menjadi terang karena pantulan cahaya cermin, cermin bersinar karena cahaya bulan, sedangkan bulan memantulkan cahaya dari matahari. Dalam hal ini matahari kita sebut sebagai sumber cahaya yang pertama, sedangkan bulan yang kedua, cahaya cermin hanya merupakan bias saja dari cahaya matahari. Samakah cahaya bulan, cahaya cermin dengan cahaya matahari yang medrupakan sumber cahaya? Tidak. Bahkan bulan dan cermin pada hakikatnya tidak memiliki cahaya. Cahaya bulan dan cermin adalah milik matahari. Maka salahkah jikalau ada orang yang berkata: “ Sebenarnya yang menyinari lantai bukan cermin ataupun bulan, melainkan matahari.”
       Cahaya matahari dalam perumpamaan diatas disebut cahaya hakiki sedangkan cahaya selainnya disebut cahaya majazi. Dalam perumpamaan diatas bisa kita kembangkan lebih jauh lagi. Sinar matahari bisa dimanfaatkan berbagai keperluan. Seperti dijadikan penggerak mobil tenaga surya, kalkulator dan lain-lain. Hakikat sinarnya tetap satu tidak berubah-ubah. Tetapi bentuk pancarannya bermacam-macam. Intinya tetap satu yang tidak bisa diserupakan, yaitu Tenaga Inti Matahari. Jadi yang berbeda satu sama lain adalah bentuk pancarannya.
     Dari contoh-contoh diatas , maka kita dapat tarik benang kesimpulan, bahwa Dzat Allah yang merupakan wujud hakiki tidak bisa diserupai oleh selain-Nya yang hanya merupakan wujud majazi. Dan bahkan, sesuatu yang bersifat majaz ini adalah berasal dari Nya. Maka salahkah bila orang yang berkata: “ Sebenarnya tidak ada yang wujud kecuali wujudNya.” Dzat yang bersifat Hayyu tetap satu adanya. Adapun pancaran dari Al-Hayyu itu sendiri bermacam-macam. Ada yang menjadi manusia, hewan, tumbuhan dan lain-lain. Dari sini Mukhalafatu lil hawaditsi bisa kita artikan, berbeda bagi yang baru. Artinya berbeda-beda bentuk dan wujudnya ini hanyalah sesuatu yang baru, sedangkan esensi atau saripati dari sesuatu yang baru ini tetap satu adanya dan tidak mengalami perubahan. Inilah makna wujudul wahdah fil katsrah ( adanya yang satu pada yang banyak ) atau Wujudul katsrah fil wahdah ( adanya yang banyak pada yang satu ).
d          Qiyamuhu binafsihi. Artinya, berdiri dengan Dzat-Nya Sendiri. Maksudnya adalah Dzat Allah tidak butuh kepada yang lain, untuk meniadakan atau mewujudkan-Nya.
Bagaimana mungkin Dzat yang akbar ini membutuhkan selain-Nya, yang nyata-nyata memang tidak ada? Bahkan kalau boleh diibaratkan; bumi, langit dan semua yang tersebar dijagat raya ini adalah ibarat kuman didalam perut gajah yang bengkak. Ibarat ini mengisyaratkan, betapa Dzat Allah ini melingkupi seluruh alam semesta ini. Dengan keperkasaan Dzat-Nya inilah, Dia berhak mengatur dan berbuat apa saja terhadap semua makhluq-Nya tanpa membutuhkan pertolongan siapapun juga, dan tidak ada satupun yang bisa menghalang-halangi apa yang dikehendaki-Nya. Inilah makna firmna-Nya:  “Innallaah ghaniyyun’anil ‘aalamiin.” Artinya, Sesungguhnya Allah Maha Kaya tidak membutuhkan dari alam semesta. 
      Allah tidak membutuhkan pertolongan sesuatupun didalam AF’AL-Nya. Termasuk ngelar-ngracut ( mencipta-menghapus ) jagat raya dengan segala isinya ini. Semua yang tersebar dijagat raya ini bergerak atas kehendak-Nya. Tidak ada satupun gerak dan perbuatan makhluq, melainkan atas kehendak-Nya. Jadi, semua gerak dan perbuatan makhluq adalah Af’al atau perbuatan Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman-Nya: “ Wa maa ramaita idzramaita walaakinnallaaha ramaa.” Artinya : “ Bukan kamu yang melempar ( Hai Muhammmad ) ketika kamu melempar, melainkan Allah-lah yang melempar.”
      Berkata seorang penyair arab: “ Walau khatharat lii fiisiiwaaka iraadatun, ‘alaa khatirii sahwan qadlaitu biriddatii.” Artinya : “ jika terlintas kilas dalam khatarku (ungkapan yang sangat halus dari dalam hati) ada kehendak lain selain daripada kehendak-Mu, aduhai remuk redam diriku di lumpur kemurtadan.”
Lebih tegas lagi, Allah SWT menjelaskan melalui firman-Nya, “ Wallaahu khalaqakum wamaa ta’maluuna.” Artinya:  “ Allah yang menciptakanmu dan yang menciptakan perbuatanmu.”
     Jadi Qiyamuhu binafsihi, mempunyai pengertian, Allah Ada dengan Dzat-Nya sendiri, dan dengan Dzatnya inilah manusia dan semua makhluq berkarya dan beraktifitas sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. Dengan Dzat-Nya inilah orang-orang mukmin dapat melakukan shalat, puasa, haji dan macam-macam amal ibadah. Dan dengan Dzat-Nya inilah orang-orang Arifbillah dapat mengenal dan melihat Tuhannya.  Seseorang bertanya kepada Syech Dzunnun Al-Mishri, “ Bima ‘arafta rabbaka?” dengan apa tuan dapat melihat Tuhan?. Dijawab oleh beliau,” Araftu rabbi bi rabbi,”  aku melihat Tuhanku dengan Tuhanku. Demikianlah semuanya dapat terjadi karena bersama dengan Dzat Allah. Maka iqrar yang kita ucapkan ketika sedang shalat adalah, “ Inna shalaati wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil ‘aalamiin, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku adalah milik Allah, Tuhan sekalian Alam.
e           Wahdaniyyat, Allah Maha Esa. Allah Tunggal, tunggal dalam Dzat, Sifat, Asma’ maupun Af’al.
Tidak ada Dzat kecuali Dzat-Nya Allah. Tidak ada Sifat kecuali Sifat-Nya Allah. Tidak ada Asma’ kecuali Asma’-Nya Allah. Tidak ada Af’al kecuali Af’al-Nya Allah. Inilah makna " Qul huwallaahu ahadun.” Katakanlah hai Muhammad, Allah itu Satu. Juga ayat yang menerangkan, “ Wa ilaahukum ilaahu waahid, laa ilaaha illa huwarrahmaanurrahiim.” Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada kecuali Dia yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Setelah kita menyadari bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang Satu, yang tidak ada sekutu bagi-Nya sekarang yang menjadi pertanyaan: “ Dimana Dia?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut gampang-gampang susah, gampang karena jawabannya sudah ada dalam Al-Quran. Dalam surah Qaf, ayat 16 disebutkan, “ Wa nahnu aqrabu ilahi min hablilwarid.” Aku lebih dekat daripada urat leher. Juga firman-Nya yang lain, “ Fainamaa tuwalluu fatsamma wajhullaahi.” Kemanapun kamu menghadap disitu wajah Allah. Dalam redaksi ayat yang lain juga dijelaskan bahwa Allah SWT bersemayam diatas Arsy ( Tsummastawaa ‘alal ‘arsy )
     Jawaban atas pertanyaan diatas akan  menjadi susah kalau timbul pertanyaan baru, misalnya: “ Kalau Allah lebih dekat dari urat nadi berarti Allah berada dalam diri manusia, kalau Allah berada dalam diri manusia, berada  Dia terbatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Padahal Allah bersifat Akbar dan berarti pula pada diri setiap manusia ada Allahnya, berarti Tuhan tidak hanya satu, melainkan banyak, sebanyak makhluq yang tersebar dijagat raya ini?” Kalau kemana saja kita menghadap disitu adalah Wajah Allah, berarti kita menghadap batu, menghadap matahari, menghadap hewan, tumbuhan juga menghadap Allah? Dan kalau Allah bersemayam diatas Arsy berarti keberadaan Arsy masih lebih luas dibandingkan dengan Allah? Padahal Allah adalah Dzat yang Wasyii’un ‘aliim. Dzat Yang Maha Luas dan Maha Mengetahui? Dan ayat diatas satu sama lain saling bertentangan, yang satu ayat menjelaskan berada dalam diri manusia, satunya lagi menjelaskan dimana saja, satunya lagi menjelaskan diatas Arsy, bukankah ini sesuatu yang mustahil, jika terjadi perbedaan antara ayat yang satu dengan ayat yang lain? Mana yang benar?
     Pertanyaan tersebut memang sulit dijawab bagi orang yang belum memahami Jatining Agesang atau Agesang Sejati atau belum memahami hakikat dirinya. Apalagi bagi orang yang tertutup mata hatinya, yang oleh Allah sendiri telah dijelaskan melalui firman-Nya: “ Waman kaana fii haadzihil a’ma ‘fahua fil akhiirati a’ma wa-adlallu sabiilaa.” Artinya, “ Barangsiapa yang buta mata hatinya didunia maka akan buta pula di akhirat bahkan lebih sesat jalannya.” Bagi orang yang telah Futuh (dibuka) mata hatinya oleh Allah, sehingga dia dapat musyahadah (menyaksikan) keindahan Allah bi ‘ainil bashiirah ( dengan penglihatan mata batin) juga akan kesulitan memberikan jawaban kepada orang yang belum sampai kesana dan apalagi yang sama sekali tidak ada keinginan atau ghirah untuk bermakrifat kepada Allah. Sama sulitnya menceritakan rasa manisnya madu kepada orang yang sama sekali tidak pernah merasakan bahkan melihat madu.
     Sayyidina Ali, juga Abu Hurairah berkata:  “ Aku diberi dua karung mutiara Ilmu oleh Rasulullah SAW, yang satu karung aku sebarkan dan yang satunya lagi aku simpan, sebab jika yang sekarung ini aku sebarkan aku akan dianggap penyembah berhala, dan laki-laki muslim akan menghalalkan darahku.”
Dalam hal ini Rasulullah SAW, memberikan jawaban secara bijaksana ketika seseorang bertanya tentang IHSAN, “ Al ihsaanu hua anta’budallaaha ka-annaka taraahu fa-inlam takun taraahu fainnahu yaraaka.” Artinya, Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika kamu tidak mampu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Amin. Wallahu 'alam.

Minggu, 13 Mei 2012

Penjabaran Sifat Nafsiyah


     Sifat Nafsiyah adalah sifat yang hanya Khusus disandarkan atau dikhitabkan kepada Allah SWT. Selain Allah tidak berhak menyandang sifat ini. Adapun Sifat Nafsiyah ini hanya ada satu, yaitu: Sifat Wujud,  Wujud ( ada ). Kebalikan dari dari sifat wujud adalah Adam ( tidak ada ). Jadi yang Ada hanya Allah, selain Allah Tidak Ada.
     Berarti pada Hakekatnya manusia dan semua Makhluq yang tersebar dijagat raya ini adalah Tidak Ada. Dengan kata lain, yang ada hanyalah Satu Wujud, yaitu Wujud Allah. Inilah yang disebut dengan istilah Wahdatul Wujud.
Wujud Allah disebut Wujud Haqiqi atau Wujud Mutlak, karena Allah adalah Dzat Wajibul Wujud ( wajib adanya ). Sedangkan wujud selain Allah disebut Wujud Majazi, karena adanya didahului oleh ketiadaan. Sesuatu yang asalnya tidak ada, selamanya tidak ada. Jadi yang ada adalah Sang Ada itu sendiri, yaitu Dzat Maulana Allah Azza Wa Jalla. Inilah makna “ Laa Maujuuda bi Haqqin Illallah.” ( Tidak ada wujud yang Haqiqi kecuali wujud Allah SWT ).
     Allah adalah Dzat, sedangkan selain Allah disebut Sifat. Antara Dzat dan Sifat tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Seperti Madu dengan Manisnya, Garam dengan Asinnya. Jika Madu diambil, manisnya ikut. Jika Garam diambil, rasa Asinnya juga ikut. Allah dengan Makhluqnya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam hal ini orang Jawa memberikan istilah: Manunggaling Kawula Kelawan Gusti. Tetapi perlu diingat bahwa bersatunya hamba dengan Tuhannya, tidak sama seperti bersatunya sesuatu dengan sesuatu yang lain. Karena bersatunya sesuatu dengan sesuatu yang lain masih ada Jarak, walau sangat limit sekali. Soal penggambaran madu dengan rasa manisnya, garam dengan rasa asinnya, hanyalah sekedar contoh untuk memudahkan pemahaman. Jadi kalau ditanya bagaimana bentuk keterpaduan antara Kawula dengan Gusti? Maka jawabnya adalah: Tan Kena Kinaya Apa atau tidak bisa dikira dan diserupakan dengan sesuatu apapun. Karena Allah hanya Satu. Dia yang Awal, Dia yang Akhir, Dia yang Dhahir, Dia yang Bathin. Tidak ada satupun wujud yang ada, baik wujud yang bersifat dhahir maupun bathin, melainkan Wujud Allah semata. Tidak ada Dzat, Sifat, Asma maupun Af’al, melainkan milik Allah semata.
Lalu bagaimana dengan manusia yang juga terdiri atas Dua Unsur, dhahir dan bathin? Ada sebuah Hadist Qudsi yang menjelaskan bahwa: “ Al insaanu sirrii wa ana sirruhu.” Artinya: Manusia adalah RahasiaKu dan Aku adalah Rahasia Manusia. Juga ada beberapa potongan ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan demikian: “ Wa fii anfusikum afalaa tubshiruun.” Artinya: Dan yang ada pada dirimu sendiri apakah kamu tidak melihatnya?
Menurut Muhammad Ibn Fadlillah, bahwa “ segala yang ada ini dari segi hakikat adalah Tuhan, sedangkan dari segi yang kelihatan secara lahir Bukan Tuhan.” Kata beliau, sebagaimana dikutip oleh Doktor Simuh dalam bukunya Mistik Islam Kejawen dalam Wirid Hidayat Jati: “ Wa inna jamii’al maujuudaati min khaitsul wujuudi ‘ainul khaqqi subhaanahu wa ta’ala min khaitsutta’yuni ghairul khaqqi subhaanahu wata’ala.” Artinya: sesungguhnya segala yang wujud dari segi wujud haqiqi adalah Alllah SWT, sedangkan dari segi pandangan nyata ( dhahir ) bukan Allah SWT. Dalam hal ini beliau memberikan tamsil atau perumpamaan: uap, air, es, salju dan buih, dari segi hakikat adalah air, akan tetapi dari wujud lahir bukan air.
Dalam Serat Tuhfah yang berbahasa jawa dan bersekar macapat dijelaskan:
“ Satuhune ananing hyang jati,
Maha suci saking warna rupa,
Tan gingsir owah anane,
Sawusing asyya maujud,
Datan owah anane sami,
Sawusing ana asyya,
Tetep ing hyang agung,
Dumeling nyata ing jagat,
Ananing hyang ing mangke kadya ing nguni,
Langgeng tan kena owah.
Panganggening hyang awarna warni,
Beda-beda tanpa wiwilangan,
Dadi aling-aling kabeh,
Kang tan oleh pituduh,
Datan mulat ing sejati,
Kandheg ing warna rupa,
Tingale abawur,
Datan wruh ing jatinira,
Kesasaring dedalan marga kang jati,
Datan wruh ing kasidan.”
Maksudnya kurang lebih sebagai berikut:
“ Tuhan merupakan aspek batin dari segala yang ada di alam semesta, bahwa segala yang ada dialam semesta adalah wujud majazi dari satu hakikat yang tunggal ( Tuhan ), ibarat berbagai macam pakaian untuk wujud batin yang Esa, atau ibarat bayang-bayang, adanya tiada menyimpang dari wujud batin yang ada dalam ilmu Tuhan, Tuhan sebagai Dzat mutlak tidak berupa, tidak berwarna dan tidak dapat dikenal, wujud kekal tidak berubah, baik sebelum atau sesudah terciptanya alam semesta.”
Mengenai konsep kesatuan manusia dengan Tuhan, dalam serat tersebut juga dijelaskan: “…away andadi pangeran, lir pangucaping wang sangir, tatkala nyata ing sira, pangeran iku anane, tatapi dudu liyanipun, ewuh mangke panarima.” Maksudnya adalah Manusia bukan Tuhan, tetapi juga tidak berbeda dengan Tuhan.”
Disinilah konsep “ Loro Ning Tunggal “  dalam serat tuhfah, manusia bukan Tuhan tetapi juga tidak berbeda dengan Tuhan. Dalam kesatuan dengan Tuhan, manusia digambarkan sebagai ombak dalam lautan, laksana buih dalam air, laksana dengung dengan suara. Disinilah letak rahasia manusia, barangsiapa yang telah dapat menyingkap tersebut, maka sungguh dapat pula menyingkap Rahasia Uluhiyah atau Rahasia Ketuhanan. Amin. Walahu’alam.

Sifat Dua Puluh Kawedhar

     Sifat-Sifat Allah SWT sebenarnya sangat banyak, tiada terbilang banyaknya. Kalau ditanya berapa Sifat-Sifat Allah tersebut? Hanya Dia sajalah yang lebih tahu akan jawabnya. Akan tetapi secara Ijmali, Para Ulama mengelompokkan Sifat-Sifat Allah tersebut kedalam 20 Sifat. Kedua puluh sifat tersebut dikelompokkan lagi menjadi 4 bagian.
     Adapun perinciannya sebagai berikut: 
1. Sifat Nafsiyah ( Wujud ),
2. Sifat Salbiyah ( Qidam, Baqa', Mukhalafatul lil hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyat ),
3. Sifat Ma'ani ( Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama', Bashar, Kalam )
4. Sifat Ma'nawiyah ( Qadiran, Muridan, 'Aliman, Hayyan, Sami'an, Bashiran, Mutakalliman ).
     Untuk dapat mengenal Allah, kita harus memahami benar benar kedua puluh sifat tersebut. Agar kita dapat dengan mudah memahami kedua puluh sifat tersebut maka sebagai acuannya adalah Diri Kita Sendiri. Jadi, kita harus membaca kedua puluh sifat tersebut pada diri kita sendiri. Mengapa demikian? karena ada sebuah hadist Nabi Muhammad SAW, yang mengatakan:
   " Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa Rabbahu."
( Barangsiapa yang mengetahui Dirinya, maka akan mengetahui Tuhannya ).

Nah, oleh karena itu untuk para pencari kebenaran sekalian layaknya setiap kata perkata kalimat perkalimat kita harus memahaminya secara benar dan hati-hati agar kelak dikemudian hari tidak menimbulkan pemahaman yang keliru, kita fahami dulu setiap kalimat dengan Hati tanpa melibatkan emosi maupun ego kita, biarlah untuk sementara waktu itu mengalir kedalam Kalbu kita, yakinlah selama apa yang kita niatkan benar Inshaallah kita akan menemukan kebenaran yang Hakiki, Amin. Wallahualam.

Kesaksian Hakiki Mata Hati


          Bila hati sudah menjadi bersih maka hati akan menyinarkan cahayanya. Cahaya hati ini dinamakan Nur Kalbu. Ia akan menerangi akal lalu akal dapat memikirkan dan merenungi tentang hal-hal ketuhanan yang menguasai alam dan juga dirinya sendiri. Renungan akal terhadap dirinya sendiri membuatnya menyadari akan perjalanan hal-hal ketuhanan yang menguasai dirinya. Kesadaran ini membuatnya merasakan dengan mendalam betapa dekatnya Allah swt dengannya. Lahirlah di dalam hati nuraninya perasaan bahwa Allah selalu mengawasinya. Allah melihat segala gerak-geriknya, mendengar pertuturannya dan mengetahui bisikan hatinya. Jadilah dia seorang Mukmin yang cermat dan waspada.

Di antara sifat yang dimiliki oleh orang yang sampai kepada martabat Mukmin adalah:
1: Cermat dalam pelaksanaan hukum Allah s.w.t.
2: Hati tidak cenderung kepada harta, merasa cukup dengan apa yang ada dan tidak sayang membantu orang lain dengan harta yang dimilikinya.
3: Bertaubat dengan sebenarnya (taubat nasuha) dan tidak kembali lagi kepada kejahatan.
4: rohaninya cukup kuat untuk menanggung kesusahan dengan sabar dan bertawakal kepada Allah
5: Kehalusan kerohaniannya membuatnya merasa malu kepada Allah dan merendahkan diri kepada-Nya.

 Orang Mukmin yang taat kepada Allah swt, kuat melakukan ibadat, akan meningkatlah kekuatan rohaninya. Dia akan kuat melakukan tajrid yaitu menyerahkan urusan kehidupannya kepada Allah Dia tidak lagi khawatir terhadap sesuatu yang menimpanya, walaupun bala yang besar. Dia tidak lagi menempatkan ketergantungan kepada sesama makhluk. Hatinya telah teguh dengan perasaan ridha terhadap apapun yang ditentukan Allah untuknya. Bala tidak lagi menggugat imannya dan nikmat tidak lagi menggelincirkannya. Baginya bala dan nikmat adalah sama yaitu takdir yang Allah tentukan untuknya. Apa yang Allah takdirkan itulah yang paling baik. Orang yang seperti ini selalu di dalam pengasuhan Allah karena dia telah menyerahkan dirinya kepada Allah swt Allah kurniakan kepadanya kemampuan untuk melihat dengan mata hati dan bertindak melalui Petunjuk Laduni, tidak lagi melalui pikiran, kehendak diri sendiri atau angan-angan. Pandangan mata hati pada hal ketuhanan mempengaruhi hatinya (kalbu). Dia mengalami suasana yang menyebabkan dia membantah keberadaan dirinya dan diisbatkannya kepada Wujud Allah Suasana ini timbul akibat hakikat ketuhanan yang dialami oleh hati .. Dia merasa benar-benar akan keesaan Allah bukan sekedar mempercayainya. Pengalaman tentang hakikat dikatakan memandang dengan mata hati. Mata hati melihat atau menyaksikan keesaan Allah swt dan hati merasakan akan keadaan keesaan itu. Mata hati hanya melihat kepada Wujud Allah, tidak lagi melihat kepada wujud dirinya. Orang yang di dalam suasana seperti ini telah berpisah dari sifat-sifat kemanusiaan. Dalam keadaan demikian dia tidak lagi mengindahkan peraturan masyarakat. Dia hanya mementingkan soal perhubungannya dengan Allah Soal duniawi seperti makan, minum, pakaian dan pergaulan tidak lagi mendapat perhatiannya. Kelakuannya bisa menyebabkan orang mengira dia sudah gila. Orang yang mencapai tingkat ini dikatakan mencapai makam tauhid sifat. Hatinya jelas merasakan bahwa tidak ada yang berkuasa melainkan Allah dan segala sesuatu datangnya dari Allah swt

 Rohani manusia melalui beberapa peningkatan dalam proses mengenal Tuhan. Pada tingkat pertama terbuka mata hati dan Nur Kalbu memancar menerangi akalnya. Seorang Mukmin yang akalnya diterangi Nur Kalbu akan melihat betapa dekatnya Allah Dia melihat dengan ilmunya dan mendapat keyakinan yang dinamakan ilmul yaqin. Ilmu berhenti di situ. Pada tahap keduanya mata hati yang terbuka sudah boleh melihat. Dia tidak lagi melihat dengan mata ilmu tetapi melihat dengan mata hati. Kemampuan mata hati memandang itu dinamakan kasyaf. Kasyaf melahirkan identifikasi atau makrifat. Seseorang yang berada di dalam makam makrifat dan mendapat keyakinan melalui kasyaf dikatakan memperoleh keyakinan yang dinamakan ainul yaqin. Pada tingkat ainul yaqin makrifatnya gaib dan dia juga gaib dari dirinya sendiri. Maksud ghaib di sini adalah hilang perhatian dan kesadaran terhadap sesuatu hal .. Beginilah hukum makrifat yang terjadi. Makrifat lebih tinggi nilainya dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah pencapaian terhadap persoalan yang terpecah-pecah bidangnya. Makrifat pula adalah hasil pencapaian terhadap hakikat-hakikat yang menyeluruh yaitu hakikat kepada hakikat-hakikat. Tetapi, kesaksian mata hati jauh lebih tinggi dari ilmu dan makrifat karena kesaksian itu adalah hasil dari kemauan keras dan perjuangan yang gigih disertai dengan upaya hati dan pengalaman. Kesaksian adalah setinggi-tinggi keyakinan. Penyaksian yang paling tinggi adalah kesaksian hakiki oleh mata hati. Ia merupakan keyakinan yang paling tinggi dan dinamakan haqqul yaqin. Pada tingkat kesaksian hakiki mata hati, mata hati tidak lagi melihat kepada ketiadaan dirinya atau keberadaan dirinya, tetapi Allah dilihat dalam segala sesuatu, segala kejadian, dalam diam dan dalam tutur-kata. Penyaksian hakiki mata hati melihat-Nya tanpa dinding penutup antara kita dengan-Nya. Tidak ada lagi antara atau ruang antara kita dengan Dia. Dia berfirman:
Dan Ia (Allah) tetap bersama-sama kamu di mana saja kamu berada. (Ayat 4: Surah al-Hadiid)

Dia tidak terpisah dari kamu. Penyaksian yang hakiki ialah melihat Allah dalam segala sesuatu dan di setiap waktu. Pandangannya terhadap makhluk tidak menutup pandangannya terhadap Allah swt Inilah makam keteguhan yang dipenuhi oleh ketenangan dan kedamaian yang sejati dan tidak berubah-ubah, bernaung di bawah payung Yang Maha Agung dan Ketetapan Yang Teguh. Pada kesaksian yang hakiki tiada lagi ucapan, tiada bahasa, tiada ibarat, tiada ilmu, tiada makrifat, tiada pendengaran, tiada kesadaran, tiada hijab dan semuanya sudah tiada. Tabir hijab telah tersingkap, maka Dia dipandang tanpa ibarat, tanpa huruf, tanpa abjad. Allah swt dipandang dengan mata keyakinan bukan dengan mata zahir atau mata ilmu atau kasyaf. Yakin, semata-mata yakin bahwa Dia yang dipandang sekalipun tidak ada sesuatu pengetahuan untuk diceritakan dan tidak ada sesuatu identifikasi untuk dipamerkan.

 Orang yang memperoleh haqqul yaqin berada dalam suasana hatinya kekal bersama-sama Allah di setiap saat, setiap ruang dan setiap kondisi. Dia kembali ke kehidupan seperti manusia biasa dengan suasana hati yang demikian, di mana mata hatinya senantiasa menyaksikan Yang Hakiki. Allah dilihat dalam dua hal yang berlawanan dengan sekali pandang. Dia melihat Allah pada orang yang membunuh dan orang yang kena bunuh. Dia melihat Allah yang menghidupkan dan mematikan, menaikkan dan menjatuhkan, menggerakkan dan mendiamkan. Tidak ada lagi perkaitannya dengan keberadaan atau ketidakwujudan dirinya. Wujud Allah Esa, Allah meliputi segala sesuatu.